Minggu, 11 September 2016

Nantikan Cerita di Tahun Kedua, Semester Ketiga

Kekuatan di Balik Khayalan dan Imajinasi

Senin, 5 September 2016

Hai, bagaimana kabar mimpi-mimpimu?
Apa kau tinggal begitu saja?

            Tepat setahun sudah, hari ini ribuan mahasiswa baru berbondong-bondong pergi ke kota. Ada jutaan mimpi yang mereka siapkan, entah apakah kuliah ini juga bagian dari mimpi mereka atau hanya sekedar kegiatan penyibuk semata. Namun, di balik itu semua ada kebanggaan tersendiri ketika orang tua dapat menyekolahkan anaknya di tingkat tinggi, terlebih jika mereka berasal dari keluarga kurang mampu.
“Biaya kuliah sekarang mahal nak”
Ketika kita dihadapkan pada kondisi hidup yang sangat mencekik, sekecil apapun nominalnya pasti akan terasa berat.
            Setahun lalu akulah mahasiswa baru itu, seorang gadis dengan tubuh kurus dan bepakaian kusut. Tuan, mimpiku telah diobrak-abrik, tubuhku dicambuk, aku lemas, aku tak berdaya. Bagaimana tidak, dalam bayanganku menjadi seorang mahasiswi desain yang lulus dengan predikat cumlaude di salah satu universitas ternama di Surabaya, bekerja di dinas perindustrian dengan kartu nama keren, kemudian melanjutkan S2 di luar negeri untuk memperdalam desain produk. Realitasnya, sekarang aku hanyalah mahasiswi yang salah jurusan.
Kujalani kuliah pertama dengan semangat seadanya, mayoritas teman-temanku berasal dari pesantren atau minimal mereka berasal dari Madarasah Aliyah. Memanglah sangat jauh, jika dibandingkan denganku yang hanya lulusan SMAN dengan kadar pengetahuan agama seadanya. Di bagian ini, kadang aku sedikit tertawa, berani-beraninya aku kuliah di universitas yang bernuansa Islam, terlebih untuk mengkaji ilmu filsafat.
Semester pertama, buku-buku tebal itu tak akrab padaku, kuliahku hanya sekedar absensi, hanya untuk formalitas semata. Aku pura-pura aktif di kelas hanya untuk menutupi ketidakberdayaanku di masa lalu. Tak bertujuan dan tak berarah, aku menangisi jiwa ini dengan segenap penyesalan di masa lalu. Aku tak lagi menggambar, waktu banyak ku habiskan hanya untuk menata jiwa.
Selang beberapa bulan kemudian, nampaknya Tuhan dan alam berkorelasi untuk mewujudkan mimpiku. Pada semester pertama IPK ku tergolong tinggi di jurusan ku, mendekati 3.5 dan syukur alhamdulillah pada liburan semester pertama aku mulai menggambar lagi dan mulai berani mengambil job desain. Mulai dari desain untuk kado ulang tahun, kado wisuda, bahkan kado pernikahan juga. Di titik ini adalah awal di mana aku mulai bangkit dan bersemangat untuk berkarya lagi dan lagi.
Penuh syukur alhamdulillah, pada semester kedua, waktu tak lagi hanya tergunakan untuk memikirkan kegagalan di masa lalu. Berbagai lomba yang berhubungan dengan desain mulai ku ikuti. Beberapa sertifikat dan rupiah pun terkantongi. Bahkan aku juga sempat menjuarai lomba creative project yang diadakan oleh kampus yang menolakku dulu. Lalu bagaimana dengan job desain? tak jauh berbeda dengan semester pertama, di semester kedua job desain ku membanjir. Lalu bagaimana pula dengan nilai IPK? di semester ini IPK ku lebih dari 3.5, alhamdulillah semua yang terjadi sekarang di luar ekspektasiku.

(Juara 2 - Lomba Creative Project di ITS)


(Juara 3 - Lomba Desain Kartu Lebaran di Klaten)

Jatuh bangun dalam hidup itu wajar, mahasiswi yang dahulu menganggap dirinya salah jurusan, kini telah berani untuk meninggalkan zonanya. Karena satu hal yang harus kita ingat “jangan jadikan jurusan sebagai alasan yang menghalangi kita untuk berkarya”.
Memasuki tahun kedua, semester ketiga, mungkin masih banyak lagi rahasia-rahasia yang belum kita ungkap dan kado-kado yang menanti dengan sabar untuk kita buka. Bagitu indah bukan!. Sekarang aku mulai percaya bahwa khayalan dan imajinasi di masa lalu memiliki kekuatan dan berdampak pada masa depan.

“Hidupmu akan berakhir ketika kamu berhenti bermimpi dan jika mimpi yang kamu impi-impikan itu tak kau dapat sekarang, percayalah dikemudian hari Tuhan akan menjawab mimpimu”. (Bertekad)

Dwi Artiningsih, mahasiswi filsafat tahun ke dua, semester ketiga di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA). Aku bukanlah aktivis, keseharianku banyak dihabiskan untuk menulis, menggambar dan mengikuti beberapa lomba desain dan menulis.

Nb: Semua cerita di atas adalah real story, berbagi arti kehidupan lewat tulisan.

Jumat, 25 Maret 2016

Mereka Bilang...!!

Mereka bilang saya anak seni? Seni berpikir.
Mereka bilang saya anak teknik? Iya, teknik berpikir kritis.

Bukan seni, teknik, atau yang lain. Saya adalah mahasiswa dari golongan ter unik, ter ekstrem, dan ter langka. Bahkan ada yang bilang ter aneh juga, yaah awalnya saya memang tersesat, tapi tak selamanya tersesat itu menyesakkan dada kan?? Dahulu, saya merasa diterima di jurusan filsafat merupakan suatu bencana, namun selalu ada yang menarik dan tersembunyi di baliknya.
Filsafat lebih rumit daripada teknik, dan filsafat juga mempunyai nilai estetika yang lebih indah daripada seni. Seperti, pernyataan seorang filsuf Romawi yang bernama Cicero (106-43 SM) bahwa filsafat adalah “Ibu dari semua seni” (The mother of all the art), ia juga mendefinisikan filsafat sebagai seni kehidupan (Art vitae). Filsafat merupakan induk dari semua ilmu, filsafat mempelajari dan mengkaji semua ilmu, cakupannya lebih luas dari seni dan teknik, karena seni merupakan cabang ilmu dari filsafat, begitu pula teknik dan ilmu-ilmu yang lain. Mahasiswa jurusan filsafat dituntut untuk bisa dan mampu merangkum semua ilmu yang ada. Mereka memikirkan tentang suatu hal yang ada dan yang mungkin ada.
Suatu pernyataan sederhana ketika pola pikir mahasiswa filsafat diaplikasikan dalam kehidupan. Ada seseorang yang mengkagetkan khalayak ramai dengan sebuah pernyataannya “Melaksanakan shalat 5 waktu itu hukumnya tidak wajib bagi muslim”. Sontak saja pernyataan tersebut menimbulkan perdebatan dan pertentangan yang sangat hebat di kalangan masyarakat, bahkan ada yang menghubungkannya dengan Al-Qur’an dan Hadis. Dan ketika mendapatkan respon negatif, orang tersebut hanya tertawa dan berkata “Di mana letak kesalahannya”, tetap bersikukuh dengan mempertahankan pendapatnya.

Apa yang kamu pikirkan tentang pernyataan tersebut?
Menyalahkan?
Atau malah, membenarkan?

Kata kuncinya terletak pada kata “Melaksanakan” (Melaksanakan shalat 5 waktu itu hukumnya tidak wajib bagi muslim), yang benar adalah mendirikan shalat, bukan melaksanakan shalat. Mendirikan memiliki makna yang sangat jauh berbeda dengan melaksanakan, mendirikan itu menyangkut yang tampak, yaitu badan (Fisika) dan  yang tidak tampak, yaitu hati atau batin (Metafisika), ketika kita mendirikan shalat maka badan (Fisika) dan hati kita (Metafisika) tergerak dan fokus hanya kepada Allah SWT, sedangkan melaksanakan shalat itu hanya bentuk fisiknya saja (Gerakan dalam shalat), tanpa disertai kekhusyukan hati. Dan saya yakin baik Al-Qur’an maupun Hadis memerintahkan kita (Muslim) untuk mendirikan shalat, bukan melaksanakan shalat.
Tak hanya itu, mahasiswa fisika ITS juga membangkitkan pemikiran yang tertidur dengan sebuah pernyataan “Di dunia ini semua benda yang bernama pasti berwujud, ini mutlak secara fisika, jika “Allah” (Nama), lantas bagaimana dan seperti apa wujudnya”. Sedikit menguras otak ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada Sang Pencipta (Tuhan). “Sederhana saja, kita dapat menyebut itu listrik (Nama), lantas mana wujudnya.” Suatu kemustahilan  jika mahasiswa itu dapat menunjukkan wujud dari listrik, sama halnya dengan Tuhan. Tak selamanya yang bernama itu selalu berwujud, apalagi untuk mengetahui wujud dari Sang Pencipta, membayangkannya saja kita tak kan mampu.
Baiklah, pernyataan-pernyataan sederhana itu sedikit menggambarkan bagaimana pola pikir mahasiswa filsafat dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawaban, tapi mustahil untuk dijawab.

Filsafat itu mempelajari tentang apa?
Lulusan filsafat itu bisa apa?
Kalau sudah lulus mau kerja apa?

Mendengar kata “filsafat” mungkin sedikit asing di telinga orang awam, seperti halnya saya dulu. Sedikit curhat hehe... banyak hal-hal unik di filsafat, banyak hal-hal yang mengganjal dan ganjil di otak saya. Otak saya sulit menerima informasi secara begitu saja, ia selalu mempertanyakan “Mengapa begini”, “Bagaimana ini bisa terjadi”. Kalimat yang muncul selalu diawali dengan kata tanya. Jelaslah pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan muncul tanpa adanya suatu alasan, suatu pertanyaan muncul karena adanya problem atau masalah, dan filsafat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan cara menjernihkan keyakinan kita tentang masalah-masalah yang selama ini kita pikirkan.
Filsafat adalah jurusan dengan jumlah mahasiswa yang sangat minim jika dibandingkan dengan jurusan lain, kurangnya minat seseorang untuk mendalami ilmu ini berhasil menggolongkan filsafat sebagai jurusan yang sepi peminat. Jika diibaratkan suatu komunitas yang ada di kota, maka filsafat adalah komunitas orang-orang pinggiran,  komunitas orang-orang kumuh, yang terkadang tak dianggap, namun keberadaannya tetap ada dan masih bisa dirasakan. Sedikit keluhan atau lebih tepatnya protes diri...

Dunia modern nampaknya tak membutuhkan filsafat lagi...
Mereka lebih mengutamakan ekonomi dan politik....
Seakan-akan kita dikucilkan,
Dibuang,
Dan ditenggelamkan zaman...
Nampaknya saudaraku lupa..
Mereka lupa, bahwa filsafat lah ibu dari semua ilmu.....
Mereka lupa bahwa filsafat lah dasar dari semua ilmu....
Mereka lupa....

Memang tak dapat dipungkiri hidup di dunia yang serba modern seperti sekarang ini lebih mengutamakan ekonomi daripada filsafat. Setiap universitas, baik negeri maupun swasta selalu menerima mahasiswa baru dengan jumlah yang tidak sedikit. Jurusan yang menjurus ke bidang ekonomi, seperti akuntansi, pendidikan ekonomi, perbankan, dll selalu ramai peminat. Fenomena yang berbanding terbalik dengan filsafat. Miris memang, saat banyak orang yang masuk kuliah dengan mindset “Asal gampang kerja”, filsafat tidak akan mengizinkan mahasiswanya “Asal lulus saja”. Filsafat bisa diibaratkan sebagai soft skill, pada kenyataannya dunia kerja memang tak menyediakan lowongan bagi lulusan ini, tapi ingatlah si pandai perpikir bisa kerja jadi apa saja.
Sedikit kutipan dari dosen saya Bapak Dr. H. M. Syamsul Huda, M.Fil.I “Mahasiswa filsafat akan menjadi sesuatu sesuai dengan apa yang mereka pikirkan”. Layaknya kota pinggiran, pasti ada sesuatu yang tersembunyi di balik citranya yang kumuh, selalu ada yang menarik dan tersembunyi di baliknya. Saya menjadi lebih bijak terhadap alam, manusia dan Tuhan.



(Tulisan ini terinspirasi dari dua dosen saya, Bapak Dr. H. M. Syamsul Huda, M.Fil.I, mengajar matakuliah sejarah peradaban Islam pada semester 1, dan Bapak Drs. Loekisno Choiril Warsito, M.Ag yang mengajar matakuliah filsafat ilmu pada semester 2).