Jumat, 25 Maret 2016

Mereka Bilang...!!

Mereka bilang saya anak seni? Seni berpikir.
Mereka bilang saya anak teknik? Iya, teknik berpikir kritis.

Bukan seni, teknik, atau yang lain. Saya adalah mahasiswa dari golongan ter unik, ter ekstrem, dan ter langka. Bahkan ada yang bilang ter aneh juga, yaah awalnya saya memang tersesat, tapi tak selamanya tersesat itu menyesakkan dada kan?? Dahulu, saya merasa diterima di jurusan filsafat merupakan suatu bencana, namun selalu ada yang menarik dan tersembunyi di baliknya.
Filsafat lebih rumit daripada teknik, dan filsafat juga mempunyai nilai estetika yang lebih indah daripada seni. Seperti, pernyataan seorang filsuf Romawi yang bernama Cicero (106-43 SM) bahwa filsafat adalah “Ibu dari semua seni” (The mother of all the art), ia juga mendefinisikan filsafat sebagai seni kehidupan (Art vitae). Filsafat merupakan induk dari semua ilmu, filsafat mempelajari dan mengkaji semua ilmu, cakupannya lebih luas dari seni dan teknik, karena seni merupakan cabang ilmu dari filsafat, begitu pula teknik dan ilmu-ilmu yang lain. Mahasiswa jurusan filsafat dituntut untuk bisa dan mampu merangkum semua ilmu yang ada. Mereka memikirkan tentang suatu hal yang ada dan yang mungkin ada.
Suatu pernyataan sederhana ketika pola pikir mahasiswa filsafat diaplikasikan dalam kehidupan. Ada seseorang yang mengkagetkan khalayak ramai dengan sebuah pernyataannya “Melaksanakan shalat 5 waktu itu hukumnya tidak wajib bagi muslim”. Sontak saja pernyataan tersebut menimbulkan perdebatan dan pertentangan yang sangat hebat di kalangan masyarakat, bahkan ada yang menghubungkannya dengan Al-Qur’an dan Hadis. Dan ketika mendapatkan respon negatif, orang tersebut hanya tertawa dan berkata “Di mana letak kesalahannya”, tetap bersikukuh dengan mempertahankan pendapatnya.

Apa yang kamu pikirkan tentang pernyataan tersebut?
Menyalahkan?
Atau malah, membenarkan?

Kata kuncinya terletak pada kata “Melaksanakan” (Melaksanakan shalat 5 waktu itu hukumnya tidak wajib bagi muslim), yang benar adalah mendirikan shalat, bukan melaksanakan shalat. Mendirikan memiliki makna yang sangat jauh berbeda dengan melaksanakan, mendirikan itu menyangkut yang tampak, yaitu badan (Fisika) dan  yang tidak tampak, yaitu hati atau batin (Metafisika), ketika kita mendirikan shalat maka badan (Fisika) dan hati kita (Metafisika) tergerak dan fokus hanya kepada Allah SWT, sedangkan melaksanakan shalat itu hanya bentuk fisiknya saja (Gerakan dalam shalat), tanpa disertai kekhusyukan hati. Dan saya yakin baik Al-Qur’an maupun Hadis memerintahkan kita (Muslim) untuk mendirikan shalat, bukan melaksanakan shalat.
Tak hanya itu, mahasiswa fisika ITS juga membangkitkan pemikiran yang tertidur dengan sebuah pernyataan “Di dunia ini semua benda yang bernama pasti berwujud, ini mutlak secara fisika, jika “Allah” (Nama), lantas bagaimana dan seperti apa wujudnya”. Sedikit menguras otak ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada Sang Pencipta (Tuhan). “Sederhana saja, kita dapat menyebut itu listrik (Nama), lantas mana wujudnya.” Suatu kemustahilan  jika mahasiswa itu dapat menunjukkan wujud dari listrik, sama halnya dengan Tuhan. Tak selamanya yang bernama itu selalu berwujud, apalagi untuk mengetahui wujud dari Sang Pencipta, membayangkannya saja kita tak kan mampu.
Baiklah, pernyataan-pernyataan sederhana itu sedikit menggambarkan bagaimana pola pikir mahasiswa filsafat dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawaban, tapi mustahil untuk dijawab.

Filsafat itu mempelajari tentang apa?
Lulusan filsafat itu bisa apa?
Kalau sudah lulus mau kerja apa?

Mendengar kata “filsafat” mungkin sedikit asing di telinga orang awam, seperti halnya saya dulu. Sedikit curhat hehe... banyak hal-hal unik di filsafat, banyak hal-hal yang mengganjal dan ganjil di otak saya. Otak saya sulit menerima informasi secara begitu saja, ia selalu mempertanyakan “Mengapa begini”, “Bagaimana ini bisa terjadi”. Kalimat yang muncul selalu diawali dengan kata tanya. Jelaslah pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan muncul tanpa adanya suatu alasan, suatu pertanyaan muncul karena adanya problem atau masalah, dan filsafat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan cara menjernihkan keyakinan kita tentang masalah-masalah yang selama ini kita pikirkan.
Filsafat adalah jurusan dengan jumlah mahasiswa yang sangat minim jika dibandingkan dengan jurusan lain, kurangnya minat seseorang untuk mendalami ilmu ini berhasil menggolongkan filsafat sebagai jurusan yang sepi peminat. Jika diibaratkan suatu komunitas yang ada di kota, maka filsafat adalah komunitas orang-orang pinggiran,  komunitas orang-orang kumuh, yang terkadang tak dianggap, namun keberadaannya tetap ada dan masih bisa dirasakan. Sedikit keluhan atau lebih tepatnya protes diri...

Dunia modern nampaknya tak membutuhkan filsafat lagi...
Mereka lebih mengutamakan ekonomi dan politik....
Seakan-akan kita dikucilkan,
Dibuang,
Dan ditenggelamkan zaman...
Nampaknya saudaraku lupa..
Mereka lupa, bahwa filsafat lah ibu dari semua ilmu.....
Mereka lupa bahwa filsafat lah dasar dari semua ilmu....
Mereka lupa....

Memang tak dapat dipungkiri hidup di dunia yang serba modern seperti sekarang ini lebih mengutamakan ekonomi daripada filsafat. Setiap universitas, baik negeri maupun swasta selalu menerima mahasiswa baru dengan jumlah yang tidak sedikit. Jurusan yang menjurus ke bidang ekonomi, seperti akuntansi, pendidikan ekonomi, perbankan, dll selalu ramai peminat. Fenomena yang berbanding terbalik dengan filsafat. Miris memang, saat banyak orang yang masuk kuliah dengan mindset “Asal gampang kerja”, filsafat tidak akan mengizinkan mahasiswanya “Asal lulus saja”. Filsafat bisa diibaratkan sebagai soft skill, pada kenyataannya dunia kerja memang tak menyediakan lowongan bagi lulusan ini, tapi ingatlah si pandai perpikir bisa kerja jadi apa saja.
Sedikit kutipan dari dosen saya Bapak Dr. H. M. Syamsul Huda, M.Fil.I “Mahasiswa filsafat akan menjadi sesuatu sesuai dengan apa yang mereka pikirkan”. Layaknya kota pinggiran, pasti ada sesuatu yang tersembunyi di balik citranya yang kumuh, selalu ada yang menarik dan tersembunyi di baliknya. Saya menjadi lebih bijak terhadap alam, manusia dan Tuhan.



(Tulisan ini terinspirasi dari dua dosen saya, Bapak Dr. H. M. Syamsul Huda, M.Fil.I, mengajar matakuliah sejarah peradaban Islam pada semester 1, dan Bapak Drs. Loekisno Choiril Warsito, M.Ag yang mengajar matakuliah filsafat ilmu pada semester 2).

2 komentar:

  1. Gak itu mahasiswa filsafat atau mahasiswa ekonomi, tekhnik dan yang lainnya, selagi kita mempunyai pandangan hidup untuk masa depan, bagi saya adalah termasuk orang-orang yang hebat dan juga belajar menghargai orang apapun itu, toh walaupun itu rongsokan, gak ada gunanya. Orang sekarang normatifnya pintar tapi gak bisa menghargai dan minim mimpi. Yang paling penting diantara kita adalah kesadaran. ��

    BalasHapus
  2. Mereka bilang mahasiswa filsafat itu "madesu": masa depan suram.
    Tapi saya selalu positif, gak salah kan, kalau saya bilang "madesu" itu masa depan sukses...

    Intinya sederhana saja. Manusia itu dipuji gak boleh terbang. Dihina gak boleh jatuh. Nah loh!

    BalasHapus